19. Rp.2,5

banggarsa 18.31
2 ½

Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas sedikit tentang ejaan yang tertera pada uang kertas kita, khususnya pada pecahan 2 ½ rupiah.
Pertama-tama, mari kita ambil pecahan 2 ½ rupiah yang terdapat pada seri NICA 1943. Perhatikan tulisan pada nominalnya : DOEA ROEPIAH LIMAPOELOEH SEN



DOEA ROEPIAH LIMAPOELOEH SEN (NICA 1943)


Ejaan yang dipakai adalah ejaan van Ophuysen :


Sebelum tahun 1900 setiap peneliti bahasa Indonesia (pada waktu itu bahasa Melayu) membuat sistem ejaannya sendiri-sendiri, sehingga tidak terdapat kesatuan dalam ejaan. Pada tahun 1900, Ch. van Ophuysen mendapat perintah untuk menyusun ejaan Melayu dengan mempergunakan aksara Latin. Dalam usahanya itu ia sekedar mempersatukan bermacam-macam sistem ejaan yang sudah ada, dengan bertolak dari sistem ejaaan bahasa Belanda sebagai landasan pokok. Dengan bantuan Engku Nawawi gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim, akhirnya ditetapkanlah ejaan itu dalam bukunya Kitab Logat Melajoe, yang terkenal dengan nama Ejaan van Ophuysen atau ada juga yang menyebutnya Ejaan Balai Pustaka , pada tahun 1901. Ejaan tersebut tidak sekali jadi tapi tetap mengalami perbaikan dari tahun ke tahun dan baru pada tahun 1926 mendapat bentuk yang tetap.
Selama Kongres Bahasa Indonesia tahun 1938 telah disarankan agar ejaan itu lebih banyak diinternasionalisasikan.


Yang saya mau tekankan disini selain masalah ejaannya juga susunan kata-katanya:
DUA RUPIAH dituliskan lebih dulu baru disusul LIMAPULUH SEN



Sekarang kita ambil beberapa uang lainnya.
Perhatikan susunan kata pada pecahan 2 ½ rupiah seri ORI III 1947 yang tertulis DUA SETENGAH RUPIAH



DUA SETENGAH RUPIAH (ORI III 26 Juli 1947)


Lalu kita lihat susunan kata pada Uang Daerah Propinsi Sumatera (URIPS) yang dicetak tanggal 17 Agustus 1947. Susunan kata menjadi DUA RUPIAH SETENGAH


DUA RUPIAH SETENGAH (URIPS 17 Agustus 1947)



Susunan kata berubah lagi pada ORIDA (Oeang RI Daerah Atjeh) tanggal 15 September 1947 yang tertulis : DUA RUPIAH LIMA PULUH SEN. Mirip dengan seri NICA tetapi sudah menggunakan ejaan Suwandi :

Dalam perkembangan selanjutnya terutama sesudah Indonesia merdeka dirasakan bahwa ada beberapa hal yang kurang praktis yang harus disempurnakan. Sebenarnya perubahan ejaan itu telah dirancang sewaktu pendudukan Jepang. Pada tanggal 19 Maret 1947 dikeluarkan penetapan baru oleh Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan bapak Suwandi (SK No. 264/Bag.A/47) tentang perubahan ejaan bahasa Indonesia; sebab itu ejaan ini kemudian terkenal dengan nama Ejaan Suwandi. Sebagai dampak dalam keputusan di atas, bunyi oe diganti dengan u. Tetapi baru pada tahun 1949, menurut surat edaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tanda oe resmi diganti dengan u yaitu mulai 1 Januari 1949.



DUA RUPIAH LIMA PULUH SEN (ORIDA 15 September 1947)


Selain macam-macam tulisan di atas, ternyata ada lagi satu jenis uang daerah yang agak aneh dalam menuliskan kata RUPIAH.


DUA SETENGAH RUPIJAH


Sudah dapat kita duga bahwa uang tersebut pasti berasal dari daerah Jawa, tepatnya adalah Daerah Keresidenan Kedu. Tercetak di uang tersebut tanggal terbitnya yaitu Magelang 25 Oktober 1948.


Lalu dimasa pemerintahan Federal, pemerintah Belanda menerbitkan lagi uang kertas terakhirnya yaitu seri Federal III yang bertahun 1948. Ejaan yang dipergunakan masih ejaan van Ophuysen yang berbunyi DOEA ROEPIAH SETENGAH. Yang istimewa adalah kata-kata yang dalam bahasa Indonesia tersebut selain diletakkan di atas kata-kata dalam bahasa Belandanya juga memiliki ukuran yang sama besar. Bandingkan dengan seri NICA yang susunannya terbalik serta kata-kata bahasa Belandanya lebih besar daripada Indonesianya. Hal ini mungkin berarti bahwa Belanda sudah merasa kalah dan berusaha untuk mengambil hati bangsa Indonesia.


DOEA ROEPIAH SETENGAH (Federal III 1948)



Dari contoh-contoh di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa dimasa awal kemerdekaan Indonesia, ejaan yang dipakai masih kacau. Pihak Belanda mempergunakan ejaan ciptaannya yaitu van Ophuysen, sementara pihak Indonesia berusaha menggantinya dengan ejaan Suwandi. Selain ejaan, susunan atau tata bahasanyapun masih kacau, ada yang tercetak DUA SETENGAH RUPIAH, ada yang DUA RUPIAH SETENGAH dan ada yang DUA RUPIAH LIMA PULUH SEN.


Dapat dipastikan bahwa pada waktu itu telah terjadi perdebatan yang sengit antara para pakar tata bahasa. Yang manakah yang akan dipakai untuk pecahan-pecahan selanjutnya, apakah
DUA SETENGAH RUPIAH,
DUA RUPIAH SETENGAH atau
DUA RUPIAH LIMA PULUH SEN ?

Dan pemenangnya sudah dapat kita duga adalah:


DUA SETENGAH RUPIAH (1951)


Sejak 1951, rupanya para pakar telah mengambil kata sepakat untuk menuliskan semua pecahan 2 ½ rupiah dalam bentuk: DUA SETENGAH RUPIAH

.
.Perkembangan ejaan selanjutnya adalah:


Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 kembali mempersoalkan masalah ejaan. Sesuai dengan usul Kongres, kemudian dibentuk sebuah panitia dengan SK No. 44876 tanggal 19 Juli 1956. Panitia ini berhasil merumuskan patokan-patokan baru pada tahun 1957. Namun keputusan ini tidak dapat dilaksanakan karena ada usaha untuk mempersamakan ejaan Indonesia dan Melayu. Sebab itu pada akhir tahun 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu berhasil merumuskan suatu konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu – Indonesia). Tetapi konsep ejaan ini juga tidak jadi diumumkan karena perkembangan politik kemudian.

Karena laju perkembangan pembangunan, maka dirasakan bahwa ejaan perlu disempurnakan. Sebab itu, di tahun 1966 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Sarino Mangunpranoto dibentuk lagi sebuah Panitia Ejaan Bahasa Indonesia, yang bertugas menyusun konsep baru, yang merangkum segala usaha penyempurnaan yang terdahulu. Sesudah berkali-kali diadakan penyempurnaan, maka berdasarkan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972 diresmikan ejaan baru yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1972, yang dinamakan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Perubahan yang paling penting dalam EYD adalah:

Perubahan dj (seperti pada kata djalan) menjadi j (jalan)
Perubahan j (seperti pada pajung) menjadi y (payung)
Perubahan nj (njonja) menjadi ny (nyonya)
Perubahan sj (sjarat) menjadi sy (syarat)
Perubahan tj (tjakap) menjadi c (cakap) dan
Perubahan ch (tarich) menajdi kh (tarikh)


Ternyata kita juga dapat mempelajari perkembangan ejaan dan tata bahasa Indonesia dari uang kuno. Menarik bukan?


Jakarta 15 Agustus 2010
Saran dan kritik hubungi : arifindr@gmail.com


Sumber:
1. KUKI
3. Koleksi pribadi

Artikel Terkait

Previous
Next Post »